TRANSFORMASI DIGITAL DALAM PENGAWASAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SERENTAK TAHUN 2015, 2017, 2018, 2020
- PENDAHULUAN
- Penyelenggara pemilu
Sesuai dengan undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu), penyelenggara pemilu terdiri dari tiga lembaga. Yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sebagai satu dari tiga lembaga penyelenggara pemilihan umum, Bawaslu melakukan perubahan bentuk pengawasan dari analog menuju digital. Beberapa aplikasi pengawasan dibuat untuk memudahkan para pengawas pemilu melaksanakan tugas di lapangan. Tidak hanya aplikasi untuk jajaran Bawaslu, aplikasi pengawasan partisipatif juga disediakan bagi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun organisasi kemasyarakatan.
Sebelum berubah nama menjadi Bawaslu, secara kelembagaan pengawas pemilu baru muncul pada pelaksanaan pemilu tahun 1982. Yakni, bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul ketidakpercayaan terhadap pelaksanaan pemilu di bawah rezim orde baru (Bawaslu RI, 2021b).
Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 berawal dari adanya beberapa protes atas dugaan adanya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada tahun 1971. Pada pemilu tahun 1977 diduga terjadi pelanggaran lagi yang jauh lebih masif. Protes tersebut lalu ditanggapi pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang waktu itu didominasi oleh Golkar dan ABRI. Kemudian muncul gagasan memperbaiki kualitas pemilu berikutnya pada tahun 1982 (Bawaslu RI, 2021b). Pemerintah mengenalkan lembaga Panwaslak Pemilu sebagai lembaga baru yang akan terlibat dalam pelaksanaan pemilu mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Memasuki era reformasi, tuntutan agar penyelenggaraan pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa makin memuncak. Lalu dibentuk lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat independen bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai ganti LPU (KPU Republik Indonesia, 2021). Kemudian pada tahun 2007, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dibentuk sebagai lembaga tetap yang mandiri bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Sedangkan lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bermula dari dibentuknya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) pada tahun 2003. DK-KPU bersifat ad-hoc, serta masih menjadi bagian dari KPU. Awalnya, DK-KPU dibentuk untuk memeriksa pengaduan dan/atau laporan tentang adanya dugaan pelanggaran kode etik yang hanya dilakukan oleh anggota KPU (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, 2021). DK-KPU belum memiliki kewenangan menjangkau anggota Bawaslu.
Pada tanggal 12 Juni 2012 DK-KPU berubah menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki kewenangan menjangkau seluruh jajaran penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, 2021).
- Transformasi digital
Penggunaan teknologi digital dalam interaksi manusia masuk dalam kajian media komunikasi. Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss (2011) memasukkan kategori kajian media komunikasi menggunakan internet sebagai Computer-Mediated Communication (CMC) yang juga disebut media baru (Littlejohn & Foss, 2011).
Kemunculan teknologi digital baru (misalnya jejaring sosial, telepon pintar, dan data raksasa) yang mendorong terjadinya transformasi digital memang lebih dekat dengan kajian dalam dunia bisnis (Reis et al., 2018). Dimana hampir semua domain industri berusaha meraup untung sebanyak-banyaknya dari keberadaan teknologi digital. Tidak hanya di dunia bisnis, transformasi digital juga masuk ke ruang yang bekaitan dengan pelayanan publik, bahkan politik.
Transformasi digital di dunia politik telah menjadi bahan diskusi akademis selama dua dekade terakhir (Schwanholz et al., 2018). Hampir semua sendi kehidupan di sekitar kita tidak bisa lepas dari internet, mulai dari cara berbelanja, belajar, olah raga, begitu juga dalam hal politik. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menghadirkan peluang dan tantangan dalam pelibatan masyarakat secara aktif secara politik di antaranya pada saat pergelaran pesta demokrasi berupa pemilu maupun pilkada. Schwanholz et al. tahun 2018 menyuguhkan hasil riset dari tiga bidang keilmuan (ilmu komunikasi, ilmu politik dan kajian jurnalisme) untuk membahas tranformasi digital dan tatanan demokrasi. Pada akhir 1990-an, literatur akademis telah menyoroti semakin pentingnya komunikasi digital lembaga-lembaga politik baik lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Misalnya untuk membagikan informasi secara online atau daring, menjaring partisipasi digital warga, pembuatan hukum online, pemilihan online, dan bahkan untuk mengakomodasi protes online yang dilakukan warga (Schwanholz et al., 2018).
Pieter Verdegem dan Evilien D’heer (2018) menyatakan bahwa beberapa ahli melihat kecenderungan yang sama fenomena komunikasi yang dimediasi internet dimaknai sebagai upaya menghubungan kembali politisi dengan rakyat (Verdegem & D’heer, 2018: hal. 119). Sehingga pertautan antara politik dengan penggunaan teknologi digital pada saat ini hampir mustahil untuk dipisahkan, apalagi dalam hal penyelenggaran pemilu sebagai peristiwa periodik yang penting dalam politik. Warga negara tidak lagi dipandang sebagai penerima informasi politik yang pasif, melainkan dianggap terlibat aktif dalam proses politik baik formal maupun informal (Schwanholz et al., 2018).
Bagi para politisi terutama kandidat dalam pemilu maupun pilkada, teknologi digital dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan visi, misi maupun pencitraan dengan harapan bisa meraup dukungan suara dari rakyat. Sedangkan bagi lembaga penyelenggara pemilu, teknologi digital dijadikan sebagai media untuk menunjang kinerja dalam pelaksanaan pemilu. Baik KPU, Bawaslu dan DKPP sama-sama menggunakan teknologi digital sebagai penunjang kinerja.
- Pilkada serentak
Indonesia pada saat ini mengenal tiga jenis pemilihan umum untuk menentukan pucuk pimpinan di lembaga eksekutif serta menentukan para wakil rakyat di lembaga legislatif; (1) pemilu presiden dan wakil presiden, (2) pemilu legislatif (Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat), (3) pemilu kepala daerah (gubernur/wakil, walikota/wakil, bupati/wakil). Tiga jenis pemilu tersebut dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil. Rakyat Indonesia memiliki hak suara untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota dewan, serta bupati maupun walikota. Suara rakyat yang menentukan pemenang dalam pemilu dengan perolehan suara terbanyak. Tiga jenis pemilihan umum dengan melibatkan rakyat sebagai penentu utama kemenangan melalui suara terbanyak, baru dilaksanakan setelah era reformasi tahun 1998.
Pada masa orde baru, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), gubernur/bupati/walikota ditunjuk oleh pemerintah pusat. Hanya anggota dewan yang dipilih oleh rakyat dengan mencoblos 2 gambar partai (PPP, PDI) 1 golongan (Golkar), dengan tambahan anggota dewan dari unsur ABRI (TNI/Polri ) sebagai perwujudan dwifungsi ABRI (KPU Republik Indonesia, 2021).
Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota secara serentak telah dilaksanakan pada tanggal 9 Desember tahun 2020. Pemilihan serentak digelar di 270 wilayah. Terdiri dari 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Sebelum tahun 2020, Indonesia telah menggelar pilkada serentak tiga kali, yaitu tahun 2015, 2017, dan tahun 2018.
Pilkada 2018 diikuti 171 daerah dengan rincian; 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pencoblosan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 Juni 2018 dengan waktu persiapan sekitar 10 bulan (KPU RI, 2018). Daerah-daerah yang mengikuti pilkada serentak tahun 2017 berjumlah 101 daerah dengan rincian; 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017 secara serentak. Sedangkan pilkada 2015 diikuti oleh 269 daerah yang terdiri dari; 9 provinsi, 36 kota, 224 kabupaten. Komisi Pemilihan Umum menetapkan tanggal 9 Desember sebagai waktu pelaksanaan pemungutan suara yang digelar serentak se-Indonesia. Pada awal direncakanan, KPU RI menyatakan bahwa peserta pilkada 2015 berjumlah 204 daerah. Tetapi, kemudian bertambah menjadi 269 daerah (KPU Republik Indonesia, 2021).
Tabel 1.1. Jumlah daerah yang menggelar pilkada serentak tahun 2015, 2017, 2018, 2020 (KPU RI).
Provinsi | Kota | Kabupaten | Jumlah daerah | |
Pilkada 2015 | 9 | 36 | 224 | 269 |
Pilkada 2017 | 7 | 18 | 76 | 101 |
Pilkada 2018 | 17 | 39 | 115 | 171 |
Pilkada 2020 | 9 | 37 | 224 | 270 |
Pilkada serentak direncanakan berjalan selama 7 gelombang dengan harapan pada pilkada 2027, seluruh daerah di Indonesia menjalankan pilkada. Namun, belakangan muncul gagasan untuk meninjau ulang rencana tersebut dengan pertimbangan munculnya beberapa persoalan dalam pelaksanaan pilkada serentak yang telah dilaksanakan sebanyak 4 kali. Proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang masih konvensional membutuhkan jumlah panitia pemungutan suara serta petugas pengawasan yang besar. Bahkan, sempat muncul beberapa peristiwa panitia pemungutan suara yang meninggal dunia karena kelelahan. Hal ini menjadi salah satu faktor pemicu perdebatan untuk mengadopsi teknologi digital dalam pemungutan suara selain faktor biaya dan rentang waktu yang lama dalam pelaksanaan pilkada maupun pemilu.
- METODE
Bentuk penelitian yang dilakukan merupakan penelitian studi kasus dengan objek penelitian berupa lembaga Bawaslu Republik Indonesia. Menurut Burhan Bungin (Bungin, 2009) penelitian studi kasus masuk ke dalam penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh dengan cara penulusuran dokumen serta wawancara terhadap pengawas pemilihan umum yang pernah menjadi pengawas pilkada serentak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020. Penggalian data ditunjang dengan tugas sehari-hari peneliti sebagai anggota Bawaslu Kabupaten Bangkalan masa jabatan 2018-2023.
Penelitian ini bertujuan menggali bagaimana perkembangan pengawasan secara digital yang dilakukan Bawaslu pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dari tahun 2015, tahun 2017, dan tahun 2018 hingga tahun 2020. Aplikasi apa saja yang digunakan oleh Bawaslu untuk melakukan pengawasan dalam pilkada serentak di Indonesia yang telah digelar selama empat kali.
Terdapat beberapa tipe studi kasus yang dijelaskan oleh Bogdan dan Biklen serta Yin dalam Burhan Bungin (Bungin, 2009).
- Studi kasus kesejarahan sebuah organisasi. Domian penting yang dianalisis adalah perjalanan dan perkembangan sejarah organisai sosial tertentu dalam waktu tertentu.
- Studi kasus observasi. Penekanan pada penggunaan observasi untuk mendapatkan data-data empiris yang detail dan aktual dari unit analisis penelitian.
- Studi kasus life history. Studi kasus model ini mencoba menyingkap secara lengkap dan rinci kisah perjalanan hidup seseorang.
- Studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan.
- Studi kasus analisis situasional. Kehidupan sosial yang dinamis selalu mengalami perubahan mengisyaratkan adanya letupan-letupan situasi tertentu yang menarik untuk diteliti.
- Studi kasus etnografi. Studi kasus tipe ini dilakukan terhadap sebuah unit sosial terkecil.
Penelitian transformasi digital dalam pengawasan pilkada serentak menggunakan analisis studi kasus kesejarahan sebuah organisasi (Bungin, 2009:230). Yakni, analisis berdasarkan perjalanan dan perkembangan penggunaan aplikasi digital dalam pengawasan pilkada serentak yang dilakukan Bawaslu selama empat kali penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020.
- HASIL DAN PEMBAHASAN
- Transformasi digital pengawasan pilkada
Terdapat beberapa aplikasi digital yang digunakan oleh Bawaslu sebagai upaya mengoptimalkan penegakan hukum pemilu. Ketua dan anggota Bawaslu Republik Indonesia berjumlah lima orang. Masing-masing komisioner Bawaslu menjadi koordinator divisi. Saat ini, Abhan sebagai ketua Bawaslu menjadi koordinator divisi sumber daya manusia dan organisasi. Mochammad Afifuddin koordintor divisi pengawasan dan sosialisasi. Ratna Dewi Pettalolo koordinator divisi penindakan. Rahmat Bagja koordinator divisi penyelesaian sengketa. Fritz Edward Siregar sebagai koordinator divisi hukum.
- Divisi SDM (Sumber Daya Manusia) dan organisasi
Tembang Lawas, aplikasi ini sejenis whistleblowing system untuk mengawasi kinerja para pengawas pemilu. Aplikasi Tembang Lawas merupakan upaya Bawaslu menjaga integritas seluruh jajarannya melalui penerimaan pengaduan dari warga. Aplikasi ini bisa digunakan oleh warga dengan tetap menjaga kerahasiaan pelapor.
Selain aplikasi Tembang Lawas, divisi SDM dan organisasi juga memiliki aplikasi bernama Sipeka (Sistem Pendaftaran Seleksi Terbuka Bawaslu). Aplikasi ini ditujukan sebagai upaya rekrutmen yang terbuka dan kredibel yang diluncurkan setelah pilkada serentak tahun 2015.
- Divisi Pengawasan dan sosialisasi
Divisi pengawasan dan sosialisasi merupakan ‘jantung’ lembaga Bawaslu. Sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, Bawaslu bertugas mengawasi seluruh tahapan. Mulai dari pendaftaran partai politik peserta pemilu, penetapan daftar pemilih tetap pemilu, pemilihan presiden-wakil presiden hingga mengawasi pelaksanaan pilkada. Pada pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015, aplikasi pengawasan berbentuk digital belum dikenalkan secara resmi. Namun, beberapa ide terkait aplikasi pengawasan yang berbasis digital sudah mulai dirancang. Sedangkan pada pilkada serentak periode ketiga, yakni pilkada serentak tahun 2018, Bawaslu sudah mengenalkan Siwaslu (sistem pengawasan pemilu). Meski belum sempurna, aplikasi ini menunjukkan keseriusan Bawaslu dalam beradaptasi dengan perkembangan dunia digital yang tidak sangat pesat.
Pilkada serentak periode ketiga dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Pada pelaksanaan pilkada tahun 2020, sedikitnya terdapat empat aplikasi yang berada di bawah naungan divisi pengawasan dan sosialisasi. Yakni, 1.) Siwaslu (sistem pengawasan pemilu). Aplikasi ini digunakan oleh jajaran pengawas pemilu dari tingkat Pengawas TPS (Tempat Pemungutan Suara) hingga provinsi. 2.) Sigap (sistem informasi pengawasan partisipatif). 3.) Si Jari Hubal (sistem jaringan informasi hubungan antarlembaga). 4.) Gowaslu (aplikasi pengawasan yang digunakan oleh masyarakat untuk ikut mengwasi jalannya pemilu/pilkada).
- Penyelesaian sengketa
Setelah undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu disahkan, Bawaslu memiliki kewenangan tambahan yakni menyelesaikan sengketa proses pemilu sejak dari panwascam (pengawas di tingkat kecamatan) hingga provinsi. Aplikasi yang dimiliki divisi penyelesaian sengketa adalah SIPS (Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa). Aplikasi SIPS diluncurkan pada 17 Desember 2019, setelah pelaksanaan pemilu serentak legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden. SIPS bisa digunakan sebagai sarana menyelesaikan sengketa antara peserta pilkada dengan KPU maupun sengketa antarpeserta pilkada.
- Divisi penindakan
Terdapat dua aplikasi yang digunakan pada pilkada serentak, yaitu Sigaru dan Sitinju. Sigaru aplikasi yang berfungsi sebagai sistem pelaporan pelanggaran pemilu. Sedangkan Sitinju adalah aplikasi yang digunakan sebagai sistem informasi pemantauan tindak lanjut temuan.
- Divisi hukum
JDIH (Jaringan Data Informasi Hukum) menjadi aplikasi yang terintegrasi di seluruh jajaran Bawaslu dari pusat hingga kabupaten/kota. JDIH menyajikan data produk hukum seperti peraturan Bawaslu, surat edaran hingga undang-udang yang terkait dengan pelaksanaan pilkada/pemilu. Masyarakat bisa mengakses JDIH dengan mudah karena sudah tersedia di laman website Bawaslu se-Indonesia.
Data terkait transformasi digital pengawasan pilkada serentak dari tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020 bisa dilihat dari tabel berikut:
Tabel 3.1. Aplikasi Bawaslu tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020
Pengguna | Pilkada 2015 | Pilkada 2017 | Pilkada 2018 | Pilkada 2020 |
SDM dan Organisasi | – | – | – | – Sipeka (sistem pendaftaran seleksi terbuka Bawaslu) |
Pengawasan dan Sosialisasi | – | – | Siwaslu (sistem pengawasan pemilu yang digunakan oleh pengawas TPS, dan Panwas desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten) | – Siwaslu (sistem pengawasan pemilu yang digunakan oleh pengawas TPS, dan Panwas desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten) – Sigap (sistem informasi pengawasan partisipatif) – Si Jari Hubal (sistem jaringan informasi hubungan antarlembaga) |
Penyelesaian Sengketa | – | – | – SIPS (sistem infromasi penyelesaian sengketa) | |
Penindakan | – | – | – Sigaru (sistem pelaporan pelanggaran pemilu) – Sitinju (sistem informasi pemantauan tindak lanjut temuan) | |
Hukum | – | – | – JDIH (jaringan data dan informasi hukum) | |
Masyarakat | – | Gowaslu (aplikasi yang bisa digunakan untuk masyarakat dalam mengawasi pemilu)Tembang lawas (aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk mengawasi kinerja Bawaslu) | Gowaslu (aplikasi yang bisa digunakan untuk masyarakat dalama mengawasi pemilu)Tembang lawas (aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk mengawasi kinerja Bawaslu) | Gowaslu (aplikasi yang bisa digunakan untuk masyarakat dalama mengawasi pemilu)Tembang lawas (aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk menagwasi kinerja Bawaslu) |
Seluruh profil aplikasi yang dimiliki Bawaslu bisa diakses di laman website www.bawaslu.go.id. Selain profil, beberapa aplikasi memang disematkan ke laman website tersebut, juga sebagian yang lain bisa diunduh di play store seperti Siwaslu dan Gowaslu. Aplikasi yang tetap menempel di laman website Bawaslu juga ditujukan untuk kemudahan dalam mengakses aplikasi yang disediakan. Sehingga, warga tidak perlu menggunakan ruang penyimpanan di ponsel saat menggunakan aplikasi tersebut.
Ketika disajikan dalam bentuk grafik, terjadi lonjakan jumlah aplikasi yang dibuat Bawaslu untuk membantu memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pengawas pilkada. Tentu saja, aplikasi tersebut juga bisa digunakan dalam pemilu serentak legislatif dan pilpres pada tahun 2019.
Gambar 3.1. Grafik peningkatan jumlah aplikasi digital Bawaslu
Dari data di atas dapat dianalisis bahwa Bawaslu RI telah mengadopsi teknologi digital dalam melakukan pengawasan pilkada serentak. Transformasi digital dalam pengawasan pilkada serentak terjadi secara bertahap dari tahun 2015 yang masih belum ada aplikasi digital sebagai alat bantu pengawasan, tahun 2017 baru terdapat 2 aplikasi, dan 3 aplikasi pada pilkada tahun 2018. Peningkatan transformasi digital secara signifikan terjadi pada pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 dengan adanya 10 aplikasi sebagai alat bantu Bawaslu RI dalam melaksanakan tugas sebagai pengawas pemilu.
Transformasi digital bagi pengawasan pilkada dan pemilu tidak lagi sebagai sebuah pilihan tetapi sudah menjadi kebutuhan. Terdapat tiga faktor eskternal yang menjadi pemicu utama kebutuhan transformasi digital; (1) penemuan internet (world wide web), (2) meningkatnya jumlah lembaga pemerintah yang menggunakan teknologi digital, (3) perubahan perilaku masyarakat yang semakin tidak bisa lepas dari teknologi digital. Transformasi digital digital dalam pelaksanaan pengawasan pemilu bisa dianalisis menjadi 3 fase; (1) digitization, yakni perubahan dari analog ke format digital yang biasanya menggunakan sistem coding (2) digitalization, yaitu fase bagaimana teknologi informasi digunakan dalam proses pengawasan pilkada, (3) digital transformation, ini merupakan fase bagaimana teknologi digital benar-benar mampu mengubah pola lama ke pola baru dalam pengawasan pilkada serentak. Analisis tersebut merujuk pada artikel yang ditulis oleh (Verhoef et al., 2019) yang secara ringkas disajikan dalam bentuk diagram alur sebagai berikut:
Gambar 3.2. Model alur transformasi digital (Verhoef et al., 2019)
Selain faktor dan fase transformasi digital, hal yang juga penting adalah strategi yang diperlukan untuk menyikapi transformasi digital. Langkah-langkah strategis apa yang diperlukan Bawaslu RI sebagai bentuk keharusan menghadapi transformasi digital dalam pengawasan pilkada dan pemilu. (1) Sumber daya digital; meliputi sumber daya manusia yang mampu menguasai teknologi digital, perangkat lunak, dan perangkat keras. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi digital bisa ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan. (2) Struktur organisasi; hampir semua divisi di Bawaslu mendapatkan dukungan bagian yang menangani bagian teknologi informasi. (3) Strategi pengembangan, pengembangan aplikasi di bidang pengawasan pemilu harus terus dilakukan mengingat persoalan yang terjadi selama pemilu juga berlangsung dinamis. (4) Evaluasi dilakukan untuk mengukur dan mengetahui tingkat keberhasilan penggunaan aplikasi digital dalam pelaksanaan tugas-tugas pengawasan pemilu.
Lalu, adanya aplikasi digital pengawasan pilkada maupun pemilu ini apakah partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu sudah cukup tinggi?
Menurut hasil penelusuran di Google Play Store, jumlah unduhan aplikasi Gowaslu kebih dari 10.000 (Bawaslu RI, 2018). Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pilkada 2020 sebesar 100.359.152 orang (Fitria Chusna Farisa, 2020). Sedangkan jumlah unduhan aplikasi Siwaslu (Sistem Pengawasaan Pemilu) berjumlah lebih dari 100.000 atau sepuluh kali lipat dari pengunduh aplikasi Gowaslu (Bawaslu RI, 2020).
Gambar 3.3. Aplikasi Gowaslu di Google Play Store yang diakses pada tanggal 6 Juli 2021. |
Gambar 3.4. Aplikasi Siwaslu di Google Play Store yang diakses pada tanggal 6 Juli 2021. |
- Mencoblos vs e-voting
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, pemungutan suara masih dilakukan secara manual dengan cara mencoblos (mencontreng pada pemilu 2009) kertas suara. Proses mencoblos atau mencontreng kertas suara dilakukan di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Surat suara yang telah tercoblos atau tercontreng lalu dimasukkan ke dalam kotak suara. Setelah pukul 13.00 WIB, proses pemungutan suara dihentikan lalu dilanjutkan dengan penghitungan suara. Sebagai contoh, hasil pengawasan pilkada serentak tahun 2020, Bawaslu RI mencatat terjadi dugaan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) sebanyak 2.216 kasus dan netralistas Aparatur Sipil Negara (ASN) 1.166 (Bawaslu RI, 2021a). Jumlah pelanggaran tersebut hanya pada masa tahapan pilkada sebelum pencoblosan maupun penghitungan suara. Jumlah pelanggaran yang cukup banyak semakin menguatkan wacana untuk menggelar pemilu dengan cara elektronik (e-voting).
Meskipun pemungutan suara masih dilakukan secara manual (pemilih mencoblos surat suara di bilik suara), namun pengawasan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 dilakukan dengan menggabungkan antara pengawasan secara manual dan digital. Pengawas pemilu tingkat provinsi hingga pengawas di tingkat TPS melakukan pengawasan pada pilkada serentak.
Dilema pemilihan dengan cara konvensional dengan menggunakan teknologi digital semisal electronic voting (e-voting) memancing perdebatan yang menarik secara politik maupun secara akademis. Selain untuk menekan jumlah pelanggaran selama tahapan maupun pada hari pelaksanaan pemungutan dan penghitunagn suara, e-voting juga ditujukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Oleh sebab itu, dalam beberapa pelaksanan pemilu terakhir e-voting menjadi pilihan inovasi yang ditawarkan oleh politisi, industri di bidang penyedia peralatan pemilu, dan para ahli independen yang biasa menjadi pengamat pemilu (Habibi & Nurmandi, 2018). Perdebatan sengit dalam hal kemudahan, kenyamanan, keuntungan dan risiko dari penerapan secara penuh sistem e-voting semakin mengemuka.
Meskipun pemilu secara elektronik menuntut sumber daya yang teknologi digital yang besar, namun hal itu tidak mengurangi rasa antusias para pengusung e-voting sebagai alternatif dari pemilu konvensional saat ini. Di antaranya (Habibi & Nurmandi, 2018) dan (Wijaya et al., 2019) melihat implementasi e-voting sebagai satu cara untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Habibi dan Nurmandi memandang e-voting sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Jika diterapkan secara benar, Habibi dan Nurmandi menilai e-voting menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan metode pemungutan suara secara konvensional. Kecepatan dan akurasi rekapitulasi suara yang lebih besar dibandingkan dengan pemungutan suara secara manual dengan mencoblos surat suara di TPS (Habibi & Nurmandi, 2018: hal. 2). Senada dengan keduanya, (Wijaya et al., 2019) juga memandang penerapan e-voting sebagai upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia dengan menggunakan analisis bahwa Indonesia sebagai negara hukum sehingga e-voting ‘hanya’ perlu payung hukum untuk diterapkan.
Baik (Habibi & Nurmandi, 2018) maupun (Wijaya et al., 2019) tidak menutup mata bahwa terdapat beberapa kemungkinan munculnya persoalan dengan adanya penerapan e-voting dalam pemilu di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, pelaksanaan pemilu di Indonesia membutuhkan biaya yang relatif besar dan waktu yang cukup lama (misalnya, pilkada 2020 memerlukan waktu lebih dari satu tahun).
Tabel 3.2. Jadwal pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2019 (KPU RI, 2018)
Tahun pilkada | Jadwal | Durasi | Anggaran |
Pilkada 2005 | 18 Februari 2015 s.d 14 April 2016 | + 14 Bulan (berdasarkan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015) | Rp7,1 triliun |
Pilkada 2017 | 22 Mei 2016 s.d 14 Juni 2017 | + 13 bulan (berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2016) | Rp4,2 triliun |
Pilkada 2018 | 27 September 2017 s.d 9 Juli 2019 | + 10 bulan (berdasarkan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2018) | Rp18,5 triliun |
Pilkada 2020 | 30 September 2019 s.d 26 Desember 2020 | + 15 bulan (berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020) | Rp20,4 triliun |
Data-data pada tabel 3.2. menunjukkan durasi pelaksanaan pilkada membutuhkan waktu minimun 10 bulan mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran hingga penetapan pasangan calon terpilih. Waktu pelaksanaan pilkada yang dibutuhkan bisa bertambah jika ditemukan persoalan hukum yang menggugurkan keabsahan pasangan calon terpilih meskipun sudah ditetapkan sebagai pemenang pilkada.
Tidak hanya rentang waktu yang dibutuhkan cukup lama, biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan pilkada juga cenderung mengalami peningkatan tiap tahun penyelenggaraan. Hanya pada pilkada tahun 2017 yang paling sedikit menelan anggaran negara karena jumlah daerah yang menggelar pilkada lebih sedikit dibanding pilkada tahun 2015, 2018, dan 2020. Khusus untuk pilkada serentak tahun 2020, pemerintah mengeluarkan anggaran cukup besar karena dilaksanakan pada masa pandemi covid-19. Anggaran yang harus disediakan pemerintah tersebut menunjukkan bukti pelaksanaan pemungutan suara konvensional cukup besar. Rentang waktu dan anggaran yang kemudian memunculkan ide penerapan e-voting dalam pemungutan suara baik pilkada maupun pemilu. Penerapan e-voting dinilai sebagai alternatif untuk mempercepat proses pemungutan suara dengan biaya minimum dengan tidak mengurangi kepercayaan publik terhadap proses pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Proses transformasi digital dalam pengawasan pilkada yang dilakukan Bawaslu memberikan gambaran bahwa teknologi digital digunakan sebagai upaya menjaga kepercayaan rakyat terhadap pelaksanaan pemilu. Jika proses pengawasan pilkada sudah mengunakan teknologi digital berbentuk aplikasi, lalu proses pemungutan suara yang menjadi hal pokok dalam pilkada juga perlu untuk mempertimbangan penggunaan teknologi digital.
- Penggunaan teknologi digital dalam pilkada serentak
Pilkada serentak telah dilaksanakan sebanyak empat kali dengan beberapa persoalan yang hampir tiap tahun pelaksanaan selalu muncul. Menurut Tony Seno Hartono (Tony Seno Hartono, 2017) kekurangan pada pemilihan umum (termasuk pilkada) sering kali terjadi di Indonesia disebabkan faktor human error atau sistem pendukung pelaksanaan yang tidak berjalan secara optimal selama tahapan pemilu. Ia menambahkan, terdapat tiga masalah utama yang sering timbul pada pilkada di antaranya:
- Masih terdapat masyarakat yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ketiadaan tata kelola sistem informasi terintegrasi berupa master data kependudukan yang baik secara nasional, memungkinkan persoalan DPT selalu muncul dalam pelaksanaan pilkada.
- Adanya jumlah DPT ganda yang masih besar. Selain masyarakat yang tidak masuk ke DPT, terdapat juga masyarakat yang namanya tercantum lebih dari satu kali di DPT, hal ini biasa disebut DPT ganda.
- Lambatnya pengumpulan data serta rekapitulasi suara secara nasional karena infrastruktur teknologi komunikasi belum optimal. Meskipun KPU RI sudah menyediakan aplikasi Situng pada pemilu tahun 2019, namun Situng tidak dijadikan sebagai patokan utama untuk menentukan hasil pemenang pemilu 2019. Penghitungan manual tetap menjadi dasar utama penentuan pemenang pemilu 2019. Situng merupakan kependekan dari Sistem Informasi Penghitungan Suara. Karena mengalami banyak kendala, Situng diubah menjadi Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) pada pilkada tahun 2020 (Mimi Kartika, 2020).
Sebelum pilkada tahun 2020, KPU sudah mulai menggunakan teknologi informasi pada pemilu tahun 2014 berupa sistem pendaftaran pemilih untuk mempermudah dan mempersingkat proses rekapitulasi daftar pemilih yang memiliki hak pilih. Penggunaan teknologi informasi lalu dilanjutkan pada penghitungan suara di pemilu 2019 dan pilkada 2020. Pada pemilu 2019 (Pilpres dan Pileg), KPU RI menggunakan aplikasi Situng sebagai cara untuk melakukan tabulasi suara secara nasional. Aplikasi Situng kemudian diubah menjadi aplikasi Sirekap pada pilkada 2020. Baik Situng maupun Sirekap tidak menjadi acuan kemenangan, penentuan kemenangan tetap didasarkan pada rekapitulasi manual berjenjang dari tingkat TPS hingga rekapitulasi suara tingkat nasional.
Meskipun terkesan lambat, penggunaan teknologi informasi pada pemilu 2019 dan pilkada 2020 menunjukkan peningkatan kualitas pemilihan umum maupun pilkada di Indonesia yang cukup penting dibanding pemilu maupun pilkada sebelumnya. Perkembangan penggunaan teknologi digital yang juga dilakukan oleh KPU RI menjadi dasar adanya wacana pemungutan saura dilakukan secara elektronik (e-voting) akan menjadi pertimbangan bagi Indonesia untuk dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran pada pemilu maupun pilkada. Proses rekapitulasi suara juga semakin lebih cepat karena proses pemungutan suara tidak dilakukan secara manual. Apalagi, masa pandemi covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk tidak berada dalam kerumunan. Protokol kesehatan mencegah penyebaran covid-19 salah satunya adalah mencegah terjadinya kerumunan pada saat pemilu maupun pilkada. Kerumunan dalam jumlah besar sangat berpotensi muncul pada saat tahapan kampanye terbuka hingga pada saat pencoblosan di TPS.
- KESIMPULAN
Transformasi digital memang memberikan dampak cukup besar bagi perubahan pola interaksi antara pemerintah dan rakyat. Pola komunikasi satu arah seperti zaman pemerintah orde baru tidak bisa lagi diterapkan pada era reformasi. Hal ini membuat pemangku kebijakan, terutama lembaga-lembaga pemerintah terus berbenah menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi digital. Upaya-upaya pelibatan warga negara dalam pengawasan pilkada maupun pemilu menjadi tujuan utama agar proses demokrasi bisa berjalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Meningkatnya jumlah aplikasi yang dimiliki Bawaslu menjadi bukti bahwa Bawaslu berupaya meningkatkan partisipasi warga dalam pengawasan pilkada/pemilu.
Tidak hanya Bawaslu, KPU juga mulai menggunakan teknologi digital dalam melakukan tabulasi dan verifikasi daftar pemilih. Pada pemilu tahun 2019, KPU meluncurkan aplikasi Situng sebagai alat untuk melakukan penghitungan suara serentak secara nasional. Kemudian pada tahun 2020, KPU mengganti aplikasi Situng dengan aplikasi baru bernama Sirekap. Fungsi kedua aplikasi ini tidak jauh beda, tetapi sama-sama tidak dijadikan acuan perolehan suara sah pada kandidat. Perolehan suara sah tetap mengacu pada penghitungan suara manual berjenjang dari tingkat TPS hingga penghitungan suara tingkat nasional.
Inovasi-inovasi dalam penggunaan teknolgi digital tetap dibutuhkan pada pelaksanaan pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Namun, aplikasi-aplikasi digital hanyalah sebuah alat bantu. Tanpa adanya keinginan masyarakat untuk terlibat aktif menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut, maka tujuan untuk mengoptimalkan pengawasan maupun pelaksanaan pilkada/pemilu akan sulit tercapai.
- SARAN
Pengawasan pilkada serentak yang dilakukan secara digital mengalami lonjakan dalam hal jumlah aplikasi, namun proses pengawasan manual tetap dilakukan. Pengawasan proses pemungutan suara di TPS, penghitungan suara hingga rekapitulasi suara masih dilakukan secara manual. Selain itu, proses pemungutan suara masih dilakukan secara manual yaitu dengan cara mencoblos surat suara di bilik TPS. Proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang masih konvensional membutuhkan jumlah tenaga manusia yang besar sebagai panitia pemungutan suara serta petugas pengawasan. Bahkan, sempat terjadi beberapa peristiwa panitia pemungutan suara yang meninggal dunia karena kelelahan. Tenaga panitia dan pengawas pemungutan suara sangat terkuras ketika melakukan persiapan pemungutan suara (menyiapkan lokasi TPS, menata bilik suara, dan menyiapkan logistik pemilihan). Ketika hari pelaksanaan pemungutan suara, panitia dan pengawas pemungutan suara juga harus mengikuti hingga saat penghitungan suara selesai dilaksanakan di TPS. Hal ini menjadi salah satu faktor pemicu perdebatan untuk mengadopsi teknologi digital dalam pemungutan suara selain faktor biaya dan rentang waktu yang lama dalam pelaksanaan pilkada maupun pemilu. Berkaca pada persoalan pemungutan suara yang masih dilakukan secara manual pada pilkada dan pemilu sebelumnya, perlu dikaji lebih lanjut apakah pada pilkada dan pemilu serentak pada tahun 2024 perlu beralih menggunakan pemungutan suara elektronik (e-voting).
Menilik tata cara memilih di dalam pemilihan umum di dunia saat ini mengalami perkembangan. Tata cara memilih diperbarui dari sebelumnya yang hanya memilih secara manual berubah menjadi elektronik. Sebagian negara yang menganut sistem demokrasi mengalami pergeseran cara menggunakan hak pilih dari sebelumnya menyalurkan hak pilih identik dengan kertas suara dan paku untuk mencoblos menjadi menggunakan mesin pemilihan dan beberapa di antaranya menggunakan alat yang mirip mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank. Cara menyalurkan hak pilih dalam pemilu dengan menggunakan bantuan teknologi dikenal dengan sebutan electronic voting atau biasa disingkat dengan istilah e-voting.
Namun, penerapan e-voting di sejumlah negara di dunia tidak selalu dapat berjalan dengan mudah dan dapat diterima secara utuh oleh warganya. Bahkan, sebagai contoh mahkamah konstitusi Jerman pada tahun 2009 memutuskan tidak lagi menggunakan e-voting dan kembali menggunakan tata cara pemilihan manual. Menyusul beberapa negara barat lainnya yang juga mulai meninjau ulang penggunakan e-voting.
Peralihan dari tata cara pelaksanaan pemilu dan pilkada secara konvesional ke digital sudah dirintis oleh dua lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). KPU telah menggunakan teknologi informasi dalam rekpitulasi suara, sedangkan Bawaslu juga sudah menggunakan teknologi informasi dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Namun, proses pemungutan saura yang masih menggunakan cara konvensional menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk beralih ke e-voting atau tetap seperti sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bawaslu RI. (2018). Gowaslu. https://play.google.com/store/apps/details?id=com.gowaslutech.gowaslu
Bawaslu RI. (2020). Siwaslu. https://play.google.com/store/apps/details?id=com.kode.siwaslu2020
Bawaslu RI. (2021a). Capai 2.126 Kasus, Pelanggaran Protokol Kesehatan Paling Banyak Selama Tahapan Pilkada 2020. https://www.bawaslu.go.id/id/berita/capai-2126-kasus-pelanggaran-protokol-kesehatan-paling-banyak-selama-tahapan-pilkada-2020
Bawaslu RI. (2021b). Sejarah Pengawasan Pemilu. https://www.bawaslu.go.id/id/profil/sejarah-pengawasan-pemilu
Bungin, B. (2009). Penelitian Kualitatitif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. (2021). Sejarah DKPP. https://dkpp.go.id/sejarah-dkpp/
Fitria Chusna Farisa. (2020). KPU: Ada 100.359.152 Pemilih Terdaftar di DPT Pilkada 2020. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2020/10/27/09142741/kpu-ada-100359152-pemilih-terdaftar-di-dpt-pilkada-2020?page=all
Habibi, M., & Nurmandi, A. (2018). Dinamika Implementasi E-Voting di Berbagai Negara. OSF, 1–23. https://doi.org/10.31227/osf.io/bu2ax
KPU Republik Indonesia. (2021). index. https://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/BDQEZlFjUD4~/VmUDYA~~
KPU RI. (2018). Tahapan Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019. https://infopemilu.kpu.go.id/pileg2019
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2011). Theories of Human Communication (10th ed.). Waveland Press, Inc.
Mimi Kartika. (2020). KPU Hapus Situng di Pilkada 2020, Diganti Sirekap. https://republika.co.id/berita/qj9yjq428/kpu-hapus-situng-di-pilkada-2020-diganti-sirekap
Reis, J., Amorim, M., Melão, N., & Matos, P. (2018). Digital transformation: A literature review and guidelines for future research. Advances in Intelligent Systems and Computing, 745(March), 411–421. https://doi.org/10.1007/978-3-319-77703-0_41
Schwanholz, J., Graham, T., & Stoll, P.-T. (Eds.). (2018). Managing Democracy in the Digital Age. Internet Regulation, Social Media Use and Online Civic Engagement (1st ed.). Springer International Publisher AG.
Tony Seno Hartono. (2017). Tantangan dan Peluang e-Voting di Indonesia. https://www.liputan6.com/tekno/read/2855014/tantangan-dan-peluang-e-voting-di-indonesia
Verdegem, P., & D’heer, E. (2018). Social Media Logic and Its Impact on Political Communication During Election Times. In Managing Democracy in the Digital Age. Internet Regulation, Social Media Use and Online Civic Engagement (J. Schwanholz, T. Graham, & P.-T. Stoll (Eds.); 1st ed.). Springer International Publisher AG.
Verhoef, P. C., Broekhuizen, T., Bart, Y., Bhattacharya, A., Qi Dong, J., Fabian, N., & Haenlein, M. (2019). Digital transformation: A multidisciplinary reflection and research agenda. Journal of Business Research, 122(September), 889–901. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.09.022
Wijaya, J. H., Zulfikar, A., & Amanda, I. P. (2019). Implementasi Sistem E-voting Untuk Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia. November, 51–59. https://doi.org/https://doi.org/10.18196/jpk.v1i1.7841
TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1.1. jumlah daerah yang menggelar pilkada serentak tahun 2015, 2017, 2018, 2020 (KPU RI).
Tabel 3.1. Aplikasi Bawaslu tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020
Tabel 3.2. Jadwal pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2019
Gambar 3.1. Grafik peningkatan jumlah aplikasi digital Bawaslu
Gambar 3.2. Model alur transformasi digital
Gambar 3.3. Jumlah unduhan aplikasi Gowaslu di Google Play Store
Gambar 3.4. Aplikasi Siwaslu di Google Play Store